Perploncoan: Kisah Mahasiswa Kedokteran di Bawah Kolonialisme

Perploncoan

History Digital – myronmixonspitmasterbbq.com – Perploncoan: Kisah Mahasiswa Kedokteran di Bawah Kolonialisme. Pada masa kolonial Belanda di Hindia Timur (sekarang Indonesia), pendidikan kedokteran mengalami perkembangan pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan tenaga medis di wilayah kolonial. Sekolah pendidikan kedokteran pertama, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), didirikan pada tahun 1851 di Batavia (Jakarta). Meskipun bertujuan untuk melatih para dokter pribumi, perjalanan para siswa kedokteran saat itu tidaklah mudah. Salah satu aspek yang menarik dan penuh kontroversi adalah adanya praktik perploncoan atau ontgroening di lingkungan pendidikan kedokteran Belanda.

Sejarah dan Latar Belakang Perploncoan di Pendidikan Kedokteran

Praktik perploncoan sebenarnya bukan hal baru dalam tradisi akademik Eropa, termasuk di Belanda. Sistem pendidikan Eropa yang meyakini pentingnya “penggemblengan” fisik dan mental menjadi inspirasi di balik budaya ini. Pada dasarnya, ontgroening berasal dari kata Belanda yang berarti “menghijaukan”, dengan tujuan untuk memperkenalkan dan mempersiapkan mahasiswa baru agar bisa beradaptasi dengan kehidupan akademik dan tradisi kampus.

Mahasiswa senior di STOVIA dan Geneeskundige Hogeschool memaksakan tradisi perploncoan pada mahasiswa baru. Mahasiswa senior sering melakukan praktik ini kepada mahasiswa baru dengan tujuan mempererat hubungan atau menguji ketahanan mereka.

Bentuk-Bentuk Perploncoan di STOVIA dan Sekolah Kedokteran Belanda

Zaman Belanda, perploncoan di kedokteran melibatkan berbagai macam kegiatan, mulai dari tugas-tugas ringan hingga tindakan kejam yang berlebihan. Berikut adalah beberapa bentuk perploncoan yang sering terjadi pada masa itu:

  1. Pemberian Tugas Fisik dan Mental: Mahasiswa baru sering kali diberi tugas-tugas fisik yang berat, seperti lari keliling kampus atau melakukan kegiatan fisik di luar ruangan selama berjam-jam. Mereka sengaja membebani mahasiswa baru dengan tugas akademik yang menumpuk untuk menguji mental mereka.
  2. Penghinaan dan Pemberian Julukan: Mahasiswa baru sering kali diberi julukan-julukan yang merendahkan oleh senior. Tujuannya adalah untuk menguji kemampuan mereka dalam menerima kritik dan tekanan dari senior. Penghinaan ini bisa berkisar dari ejekan ringan hingga penghinaan yang bersifat pribadi.
  3. Ritual-Ritual Malam Hari: Senior sering membangunkan mahasiswa baru di tengah malam dan memaksa mereka melakukan berbagai aktivitas aneh, seperti berjalan keliling kampus atau menghafal teks-teks acak. Mereka menciptakan suasana gelap dan mencekam untuk menakut-nakuti dan membingungkan korban.
  4. Pemberian Tugas Sosial: Selama perploncoan, mahasiswa senior sering memaksa mahasiswa baru untuk melakukan berbagai tugas sosial, seperti membantu staf pengajar atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tujuannya adalah untuk mengajarkan rasa hormat dan kepatuhan kepada senior.
Lihat Juga  Secrets of Cleopatra: Mengungkap Rahasia Ratu Mesir

Perploncoan

Dampak dan Implikasi Perploncoan pada Pendidikan Kedokteran

Senior memaksa mahasiswa baru untuk mengikuti tradisi perploncoan, meskipun hal itu membuat banyak mahasiswa baru merasa tertekan dan ketakutan. Tidak sedikit yang mengalami trauma psikologis, depresi, atau bahkan putus sekolah karena tidak sanggup menghadapi tekanan tersebut. Fenomena ini mencerminkan bagaimana praktik-praktik perploncoan di dunia pendidikan kedokteran zaman Belanda lebih sering berakhir sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan daripada menjadi sarana pembentukan karakter.

Sebagai tambahan, perploncoan ini mencerminkan adanya kesenjangan kekuasaan antara mahasiswa senior dan junior, yang pada akhirnya melahirkan iklim akademik yang kurang kondusif. Senior sering memaksa mahasiswa baru untuk mengikuti aturan-aturan tak tertulis tanpa memberikan ruang untuk berpendapat atau menolak.

Upaya Pembenahan dan Pengaruhnya pada Pendidikan Kedokteran Modern

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dampak negatif dari praktik perploncoan, mulai dari paruh kedua abad ke-20, banyak sekolah kedokteran, baik di Belanda maupun di Indonesia pasca-kemerdekaan, mulai mengambil langkah-langkah untuk mengurangi atau menghapuskan tradisi ini. Pengaruh Eropa yang semakin maju dalam pendekatan pendidikan, serta kesadaran akan pentingnya kesejahteraan psikologis mahasiswa, turut mendorong terjadinya perubahan.

Sekolah-sekolah kedokteran saat ini tidak lagi menerima praktik perploncoan seperti pada masa kolonial. Sebaliknya, pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pendampingan (mentoring) telah menggantikan sistem senioritas yang cenderung otoriter. Kegiatan orientasi mahasiswa baru lebih berfokus pada pengenalan lingkungan akademik dan sosial yang sehat serta pengembangan kompetensi melalui aktivitas-aktivitas positif.

 

Refleksi: Apa yang Bisa Dipelajari dari Masa Lalu?

Perploncoan dalam pendidikan kedokteran zaman Belanda mengajarkan kita betapa pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan saling mendukung. Meskipun para pelaku bermaksud mempererat hubungan sosial dan membentuk karakter. Kenyataannya perploncoan sering kali berakhir menjadi ajang penyalahgunaan kekuasaan yang justru merugikan banyak pihak.

Lihat Juga  Perang Sampit: Konflik Etnis yang Menyisakan Luka Mendalam

Sebagai bagian dari refleksi sejarah pendidikan di Indonesia, kasus ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang sehat harus mengutamakan kesejahteraan fisik dan mental para peserta didik. Pendidikan yang baik bukan hanya tentang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang aman dan suportif bagi para pelajar untuk berkembang secara maksimal.

Dengan memahami sejarah perploncoan dalam pendidikan kedokteran zaman Belanda. Kita dapat mencegah terulangnya kesalahan yang sama dan membangun masa depan pendidikan kedokteran yang lebih positif dan mendukung pertumbuhan mahasiswa.